Cerpen Tarbiyah: Gerimis, Tawa, dan Jejak Perpisahan!

Cerpen Tarbiyah: Gerimis, Tawa, dan Jejak Perpisahan

Refleksi Ukhuwah dan Dakwah di Jalan Allah

Oleh: Insa

...

Cerpen ini terinspirasi dari pengalaman kegiatan tarbiyah di lingkungan kampus. Melalui gerimis dan tawa para peserta, tersimpan banyak makna tentang dakwah, ukhuwah, dan keteguhan hati di jalan Allah. Semoga kisah ini menjadi pengingat bagi siapa pun yang sedang berjuang menjaga semangatnya di jalan dakwah.

...

Malam itu gerimis. Aku mengendarai kereta dengan jaket organisasi tipis yang tak sanggup menahan dingin. Hati kecilku berbisik, sebentar lagi aku sampai. Meski tubuh rasanya lelah, ada semangat yang membuatku memaksakan diri, yaitu rindu akan wajah-wajah yang sudah lama tak kutemui.

Setibanya di halaman SD IT Nurul Fikri, aku segera memarkirkan kereta. Dari kejauhan, kulihat beberapa panitia duduk di kantin sederhana. Mereka tertawa riang sambil memasak rom rom berwarna pink yang tampak menarik. Aroma manis guka merah dan asap yang mengepul semerbak hingga ke parkiran.

Begitu aku melepas helm, salah satu dari mereka berseru,

“Kak Indahhh! MasyaAllah!”

“Kak indah?!”

“Eh Kak indah…”

“Ih Kak indah rindu kali…”

Yang lain ikut bersorak kecil, wajah mereka sumringah. Aku hanya bisa tersenyum, meski tubuh masih basah kuyup oleh gerimis. “Baru juga sebentar nggak jumpa, udah bilang kangen,” jawabku sambil berjalan mendekat.

“Mana ada jumpa, selama ini kayaknya sering lihat di virtual aja..”

Aku berdeham, menahan senyum. Benar juga, beberapa kegiatan di LDF sudah lama tidak aku ikuti. Bahkan Milad Mizan pun yang seharusnya menjadi tempat bekumpul alumni dan anggota tidak juga  kuhadiri.

Mereka cepat-cepat menyodorkan kursi plastik kosong untukku. “Duduk sini, Kak. Cepat…”

Kantin itu pun dipenuhi gelak tawa. Kami berbincang panjang, mulai dari cerita persiapan training, tingkah lucu para peserta, hingga kenangan lama saat aku masih jadi panitia. Obrolan ngalor-ngidul itu membuat waktu terasa singkat. Aku merasakan kembali kehangatan keluarga yang dulu pernah begitu melekat.

 

Pagi sekitar pukul 03.00 pun tiba. Hening perlahan menyelimuti suasana. Jurit malam dimulai. Para peserta ditutup matanya dengan jilbab, lalu diarahkan panitia satu per satu menuju pos-pos. Aku menunggu di Pos 4, bersiap memberi muhasabah.

Seorang peserta duduk di sampingku. Penutup mata tak dilepas. Ia hanya menunduk, menunggu.

Aku menarik napas, lalu mulai berbicara dengan lirih.

“Dek, malam ini adek jalan dalam gelap. Begitu juga dengan jalan dakwah—kadang tidak jelas, kadang penuh rintangan. Tapi ingat ya dek, kita berjalan bukan dengan mata, tapi dengan hati.”

Ia tetap diam, hanya bahunya bergetar.

Aku melanjutkan, “Kalian baru aja bergabung dengan LDF. Akan ada lelah, akan ada penolakan, bahkan mungkin tangisan. Tapi jangan menyerah. Karena setiap langkah kecil adek dicatat Allah sebagai amal shalih. Kakak harap adek bisa bertahan sampai akhir, jangan setengah-setengah ya. Kita yang butuh dakwah, kita yang butuh liqo.”

Peserta itu terisak, lalu menutup wajah dengan kedua tangannya meski matanya masih tertutup jilbab. Aku sendiri menahan getar suara.

Tak lama kemudian peserta kedua datang, dan peserta pertama langsung dibawa kembali oleh panitia. Penutup mata peserta kedua terikat rapat. Ia hanya bisa mendengar, tak melihat. Suasana seketika kembali hening.

“Dek…” suaraku lirih, “dakwah bukan jalan yang terang benderang. Kadang kita berjalan dalam gelap, tidak tahu apa yang menanti. Tapi Allah selalu menuntun hati. Tugas kita hanya terus melangkah.”

Ia terdiam. “Ketika adek memilih dakwah, artinya adek siap untuk dikucilkan, siap untuk menjadi cermin bagi orang lain. Siap menghancurkan egoisme pribadi demi tegaknya islam di muka bumi. Adek siap seandainya nanti diberi amanah kedepan?” tanyaku pelan.

Kali ini ia menjawab, “In syaa allah siap kak..”

Malam itu.. satu per satu peserta datang dan pergi. Ada yang menangis terisak, ada yang hanya terdiam dalam hening panjang. Aku pun ikut tercekat. Malam itu, jurit malam berubah menjadi ruang muhasabah yang begitu dalam—bukan hanya untuk mereka, tapi juga untukku. Jurit malam juga bukan sekadar kegiatan camp. Ia menjadi ruang sunyi di mana hati bicara lebih jujur dari kata-kata.

Hari terakhir, suasana mendadak sendu. Di halaman SD IT Nurul Fikri, aku di datangi Uswah dan Linda. Uswah adalah teman Amirah dari LDK Ar-Risalah sejak dahulu dan Linda adalah sahabatku sejak di kepengurusan Kammi Aceh Besar. Kami berjumpa untuk terakhir kalinya sebelum nantinya kami akan berjauhan.

Uswah menatapku dengan senyum tulusnya. “Kak, terima kasih sudah membersamai kami…”

Aku menahan napas, lalu tersenyum. “Justru kakak yang berterima kasih. Lanjutkan perjuangan ini, jangan pernah futur. Kakak percaya kalian lebih kuat.”

Linda, yang sebaya denganku, hanya menatap lama sebelum akhirnya berkata, “Indah, rasanya aneh ya. Kita selalu bareng-bareng di Kammi dan lain-lain, eh sekarang harus pisah.”

Aku menoleh, tersenyum pahit. “Iya, Lin. Tapi meski pisah tempat, hati kita tetap sejalan. Dakwah ini akan tetap nyatuin kita. Maaf ya indah belum banyak membantu selama ini. Tapi indah senang udah kenal sama Linda dan Allah pertemukan dengan Linda di lingkungan yang baik kayak gini.”

Kami bertiga foto saling merangkul menghadap lapangan. Dalam rangkulan hangat itu hatiku mengalir sebuah doa,

Ya Allah, kuatkan mereka. Satukan langkah kami meski jarak memisahkan. Jadikan generasi ini lebih ikhlas, lebih sabar, dan lebih teguh di jalan-Mu.

Setelah itu Linda dan Uswah pamit. Aku menatap dalam punggung mereka yang semakin menjauh, lalu menghela napas. Air mataku akan jatuh, tapi kutahan. Terganti dengan senyuman tulus penuh dengan rasa bersalah.

Sekitar jam 09.00 suasana berubah ceria. Matahari hangat menyinari lapangan, panitia bersemangat menyiapkan Outbond, sementara peserta sudah mulai menciptakan yel-yel di lapangan. Aku tertawa, menurutku interaksi mereka dan semangat mereka saat menciptakan yel-yel membuatku terharu. Rasanya seperti kembali ke moment aku dan teman-teman yang dulu ketika masih awal-awal bergabung ke LDF.

Hari ini aku bertugas di Pos 4 untuk menyampaikan ibrah tentang amal jamai dan qiyadah wal jundiyah.

Aku menatap grup peserta yang bersiap melewati rintangan.

“Kalau semalam kalian belajar dengan hati, hari ini kalian belajar dengan tubuh. Amal jamai artinya bekerja bersama, saling membantu. Qiyadah wal jundiyah artinya pemimpin dan pasukan harus berjalan seirama. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih rendah. Kita semua satu tubuh dalam dakwah.”

Mereka bersemangat melewati tantangan: ada yang terjatuh tapi dibangunkan, ada yang tertawa keras saat harus mengulang, ada yang saling menguatkan meski kelelahan. Aku tersenyum, melihat potret kecil kebersamaan yang suatu hari akan mereka bawa di medan dakwah. Saat itu, kadang ingin rasanya aku menghentikan moment hanya agar memiliki waktu lebih banyak dengan mereka.

Siang itu satu persatu grup selesai dengan tantangan outbond. Kami beramai-ramai makan siang di aula dengan alas daun pisang. Moment ini membangun rasa ukhuwah yang lebih dalam. Aku senang namun juga sedih. Perpisahan rasanya semakin dekat.

Hari itu ditutup dengan sederhana namun penuh makna. Pembacaan ikrar, penghargaan dibagikan, tangan-tangan saling menjabat, senyum bercampur air mata disertai pelukan dan doa menutup langit sore. Kami saling memaafkan, saling mendoakan. Hatiku berbisik lirih, “ukhuwah ini jangan pernah pudar.”

Aku teringat firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Perpisahan ini bukan akhir, melainkan janji untuk terus bersama dalam doa dan dakwah di jalan-Nya. Hari itu TLC selesai sekitar pukul 15.00 sore. Aku melangkah pergi menuju motorku di parkiran. Untuk terakhir kalinya, mataku menatap dalam suasana SD IT Nurul Fikri. Aku menghela napas. Training ini bukan hanya sebuah acara, tapi juga kenangan terakhir bersama keluarga dakwah—jejak perpisahan yang akan tetap hidup dalam hati.

Refleksi dari Cerita Ini

  1. Dakwah bukan sekadar kegiatan, tapi perjalanan hati menuju ridha Allah.

  2. Ukhuwah yang tulus lahir dari keikhlasan dan saling menasihati dalam kebaikan.

  3. Setiap perpisahan adalah ujian keikhlasan agar kita tetap teguh di jalan-Nya.

------

Ahad, 05 Oktober 2025

SD IT Nurul Fikri, Aceh Besar.

....

Moments Pic:


Komentar

Postingan Populer