Cerpen Terbaik 2021: A Million Dreams
Hari ini tanggal 4 Januari 2021, atau biasa kau sebut dengan hari ke- empat tahun baru. Aku nyiapin cerita ini untuk kalian baca hari ini, selamat membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak ya, hehehe....
A Million Dreams
Oleh In.Sa
Dia Hana Asrina Masayu. Sesosok gadis yang memiliki wadah penampung sejuta cacian karena dikucilkan. Seorang gadis yang selalu tersenyum setiap dijatuhkan. Dia lah gadis yang mampu memendam kesakitan dibalut kesabaran yang luar biasa. Itulah Hana, pecinta sastra dan menganggap asap kopi panas sebagai nafasnya.
“Disobek lagi?"
Suara seseorang membuyarkan lamunan Hana. Gadis itu berbalik menatap ketua mading tampan yang berdiri di hadapanya sekarang. Hana tahu, ada sorot iba di kedua bola mata cowok itu.
“Iya....” Hana menjawab lirih. Matanya kembali melihat ke mading, merasa miris saat puisi yang baru tadi pagi di tempel sudah di koyak separuh.
Cowok ber-name tag Yogi Helmi Prayoga itu menghembuskan nafas kesalnya kesekian kali. Pasalnya, kejadian ini kerap kali terjadi setiap paginya. Namun hal yang paling membuat Yogi jengkel adalah orang itu selalu merusak karya milik Hana saja, sedangkan karya buatan anak literasi lain tidak ada yang dirusak.
Yogi berdecak. “Maunya apa, sih!”
“Kamu beneran enggak tahu siapa pelakunya?” Pertanyaan Yogi hanya dibalas gelengan kepala oleh Hana. Bukan Hana tidak tahu siapa pelaku dibalik ini semua, Hana tahu. Hanya saja, orang itu terlalu berarti di hidup Hana. Hana sudah berjanji kepada seseorang kalau akan menyayangi orang itu apapun yang terjadi. Hana hanya ingin menepati janjinya.
“Kamu tenang aja Hana, aku pasti akan nemuin siapa pelakunya. Kamu yang sabar, ya.”
Hana menatap Yogi intens. Ini salah satu alasan kenapa ada benih-benih rasa yang tumbuh di hati nya. Yogi terlalu baik untuknya. Hana merasa tak pantas bersanding dengan sosok yang bernama Yogi. Sebab itulah Hana lebih memilih memendamnya dalam diam. Cukup ia dan Allah saja yang tahu seberapa besar rasa itu.
“Hana!”
Hana mengalihkan pandanganya dari Yogi saat mendengar namanya dipanggil. Sahabatnya, Mala Yoshi terlihat berlari mendekat. Gadis keturunan cina itu tampak menyeka keningnya yang berkeringat.
“Tadi Haydar nyariin kamu. Katanya kamu ada janji sama dia di perpus.” Yoshi menghela nafasnya, “samperin, gih! Kasihan dia nungguin kamu di taman depan kelas.”
Hana mengangguk, lalu memilih pergi menghampiri Haydar setelah sebelumnya pamit dengan Yogi dan Yoshi.
Hana sebenarnya sedikit malas untuk menghampiri Haydar. Cowok bernama Haydar Zaim Akbar itu sebenarnya menyimpan rasa terhadap Hana, namun Hana bersikap seolah-olah tidak tahu tentang perasaan yang dimiliki Haydar. Menurut Hana, Haydar orangnya terlalu pecemburu. Hana bisa tahu salah satu sifat Haydar itu karena Haydar pernah melarang dirinya untuk berdekatan dengan teman cowok satu kelasnya. Padahal mereka tidak memiliki hubungan apa-apa.
Tubuh Hana terjerembab ke tanah bersamaan dengan suara cekikikan dari seseorang yang dikenalnya. Itu pasti Aily Pratiwi Falin. Adik tirinya yang terbiasa menjahilinya. Yang perlu kita tahu, Aily tidak pernah menyukai Hana.
Pelan-pelan, Hana mencoba berdiri meski dengan tubuh yang sedikit sakit.
“Gimana rasanya, hah! Sakit 'kan? Tapi enggak seberapa sakit waktu kakak dulu ngancurin mimpi aku!” Aily berdecih. Kemudian dengan langkah lebarnya, Aily menarik tangan Hana ke arah gudang belakang sekolah.
Aily mendorong tubuh Hana, membuat gadis malang itu meringis saat lututnya yang memar kembali menghantam lantai.
“Hana Asrina Masayu, cewek sok kecantikan yang hobi nulis dan sering kirim naskah ke penerbit tapi selalu di tolak. Sampai akhirnya daripada naskah nya gak kepakek dan sia-sia, akhirnya memilih bergabung dengan Tim Literasi Sekolah. Setiap pagi, naskah yang ditempelkan di mading selalu di rusak. Anehnya, yang rusak hanya punya Hana.” Aily meringis saat mengatakan kalimat terakhir. “kasihan banget ya jadi lo, udah naskah selalu ditolak penerbit, naskah yang ada di mading juga dirobek. Hah!” Aily tersenyum mengejek.
Benar, apa yang dikatakan Aily memang benar. Hana sering sekali mengirim naskah nya ke penerbit. Tapi mungkin belum rejekinya, jadi naskahnya selalu di tolak. Namun, hal itu tentu saja tak pernah menyurutkan semangat menulis seorang Hana Asrina Masayu. Baginya, gagal berkali-kali, maka bangkit ribuah kali. Hana yakin, akan ada saat nya dimana dia yang akan berpijak paling tinggi di antara orang-orang yang menganggapnya kecil seperti sekarang. Bukankah, Tuhan itu Maha Adil?
Hana menatap sendu adik tiri yang sangat di sayanginya itu.
“Aily, kakak minta maaf kalau dulu kakak punya salah sama kamu. Tapi dulu itu kakak lakukan hanya untuk kamu dan keluarga kita. Kakak gak mau kalau kamu disebut orang sebagai anak durhaka yang tidak mau mengerti kondisi keluarga” Hana menghela nafasnya, “Kakak juga tidak mau melihat orangtua kita yang umurnya sudah renta bekerja keras mencari uang hanya untuk menyekolahkan kamu di sekolah swasta yang terkenal itu.”
Bukanya menyesal dan merenungi apa yang dikatakan kakanya, Aily malah mendegus dan menatap tajam Hana.
“Kakak iri kan sama aku yang kemauanya selalu di turuti ayah sama ibu. Kakak iri kan karena kalo kakak minta uang bahkan lima ribu aja ke ayah harus nangis-nangis dulu baru dikasih. Iri? Iya!”
Hana terdiam. Jujur, ia sedikit iri dengan adiknya itu. Tapi Hana tahu, orangtuanya sebenarnya tidak pelit, hanya saja karena permintaan Aily dan kondisi keluarga yang tidak mendukung, menyebabkan ayah dan ibu nya lebih banyak fokus ke Aily daripada kepadanya. Lagipula Hana adalah seorang kakak. Jadi sudah sepatutnya mengalah kepada adik, ‘kan?
Hana hanya menghela nafasnya. Ia memilih pergi meninggalkan Aily yang masih berdiri dengan emosi yang meluap-luap dikepala. Hana tahu, kalaupun ia meladeni Aily, segalanya akan tetap sama. Aily hanya akan menganggap dirinya sebagai orang yang iri pada gadis itu.
“Untung aja hari ini guru-guru pada rapat. Coba kalau enggak, bisa dihukum aku karena gak masuk pelajaran” Batin Hana lega.
.
.
.
“Hana!’
Hana menoleh ke kanan saat mendengar namanya di panggil. Dilihatnya sahabatnya, Yoshi berlari kencang ke arahnya dari depan katin sekolah. “Kenapa?” kata Hana dengan kening berkerut.
“Tadi Haydar nyariin kamu, kamu enggak ada jumpain dia? Emang kamu abis dari mana?” cerocos Yoshi dengan raut wajah kesalnya. Tanganya sedikit meremas sebuah buku yang familiar bagi Hana.
“Itu buku ‘ku? Dari Haydar?” Bukanya menjawab pertanyaan Yoshi, Hana malah bertanya.
“Iya, nih! Katanya salah satu penerbit mau nerima naskah kumpulan puisi kamu yang beberapa ada di dalam buku itu.” Yoshi mencebik. “Cie calon penyair.”
Hana sedikit kurang yakin dengan apa yang dikatakan Yoshi. Bagaimana mungkin penerbit mau menerima nakahnya sedang Hana saja merasa belum pernah mencoba mengirim naskah puisi kecuali novel atau cerpen. Kacuali orang itu yang mengirim naskahnya. Sehingga dengan jantung yang berdegup kencang, Hana berlari meninggalkan Yoshi yang berteriak memanggilnya. Hana hanya ingin membuktikan jika perkataan Yoshi tadi memang benar. Lagipula, Hana perlu penjelasan dari Haydar, sebab cowok itu yang meminjam bukunya. Hana kira, buku karya puisi nya hanya akan di tempel di mading, karena dengan alasan itulah Hydar meminjam buku Hana waktu itu.
Mata bulat Hana akhirnya berhenti pada sosok yang dicarinya. Dengan langkah tergesa-gesa, Hana berjalan menghampiri Haydar. Haydar yang saat itu sedang menempel karya karikatur di mading sekolah terkejut saat melihat Hana berdiri di belakangnya begitu ia berbalik.
Haydar mengerutkan kening. Ia memperhatikan Hana yang nafasnya tersenggal-senggal. Mata Haydar memincing saat melihat buku yang di pegang Hana. Ia mengerti.
“Semuanya bener, kok.” Haydar tersenyum. “kemaren pas aku ke perpustakaan kota, aku gak sengaja lihat pengumuman kalau ada salah satu penerbit yang lagi nyari naskah puisi. Karena saat itu kebetulan aku lagi pegang buku kamu, akhirnya aku mutusin untuk ngirim naskah kamu ke penerbit itu. Awalnya aku takut kamu marah karena enggak izin dulu sebelum ngirim puisi nya. Tapi aku cuman pengen bantu kamu, setidaknya, kalau kamu gagal di cerpen dan novel, kamu bisa sukses di puisi. Jalan menuju mimpi itu banyak, ‘kan? Gak harus di situ-situ aja.”
Hana membatu. Perkataan Haydar ada benarnya juga. Bukanya marah, Hana malah tersenyum. “Makasih, ya!”
Haydar terkejut saat mendengar Hana berterima kasih padanya. Haydar kira, Hana akan marah. “I--iya sama-sama.”
Hana tahu, Haydar bermaksud baik padanya. Jadi tidak ada alasan bagi Hana untuk memarahi Haydar. Lagipula, berkat Haydar, Hana jadi tahu satu hal. Jangan hanya fokus pada satu titik, sehingga kita mengabaikan titik lainya. Padahal titik lain itu mungin lebih mudah ditembus cahaya daripada titik yang menurut kita awalnya besar, ternyata lebih kecil.
“Hana?” Haydar membuyarkan lamunan Hana. “jangan sedih, ya! Semangat terus. Aku yakin, suatu saat kamu akan bisa menggenggam mimpi itu. Mimpi menjadi seorang Cerpenis dan Novelis. Kamu percaya ‘kan kalo ingin sukses gak selalu instan, butuh perjuangan lebih supaya kamu bisa menuai kesuksesan di masa depan.Yakin aja sama yang di atas, Dia pasti akan memberikan yang terbaik.”
Seusai mengatakan hal itu, Haydar langsung berjalan meninggalkan Hana yang membatu di tempatnya. Tapi sebelum menjauh, cowok itu kembali berbalik.
“Oh, ya! Nama penerbit beserta email penerbitnya udah aku tulis di halaman terakhir buku kamu. Jangan lupa, kirim sisa dari naskah puisi kamu ke sana. Kemaren aku ngirimnya pake email yang baru aku buat atas nama kamu, udah aku tulis juga kok disitu email baru besera sandinya. Semangat, Hana!’
Hana memperhatikan punggung Haydar yang semakin menjauh dengan senyuman. Ternyata Haydar tak seburuk yang ia kira. Haydar adalah orang yang begitu baik. Bahkan saat Hana menyakitinya, Haydar tak pernah membalas kembali dengan luka.
Hana membuka halaman buku terakhirnya, disana tertulis nama penerbit dan alamat email penerbit dengan pulpen bertinta tebal. Khas tulisan Haydar.
“Penerbit Antariksa Media. E-Mail : AntariksaMedia@gmail.com”
Kemudian matanya kembali membaca tulisan di bagian paling bawah buku, yang kata Haydar email barunya.
“HanaAM@gmail.com. Sandi : Asrina00001”
Hana menghembuskan nafasnya pelan. Semoga ini awal yang baik katanya dalam hati.
Selesai




Komentar
Posting Komentar