Edisi Fiksi: Dari Sisi Aina (Bagian 1)

 

Dari Sisi Aina (Bag 1)

Oleh Insa



.....

“Apa boleh jika aku menggantungkan harap setinggi-tingginya pada langit yang sebenarnya enggan.”

-Aina Silia-

***

Mereka bilang... harapan adalah sebaik-baiknya keinginan. Mereka juga bilang, bahwa Tuhan akan mengabulkan setiap doa hambanya yang bersabar. Pada akhirnya, aku percaya, percaya tentang Tuhan yang akan mengabulkan doaku suatu hari nanti. Namun, Kapan itu akan terjadi? Jujur, sabarku tanpa gentar. Bahkan, setiap malam aku menulis setiap permohonan pada-Nya.  Permohonanku simple, sungguh! Aku... hanya ingin sembuh.

“Ain.”

Aku menoleh saat seseorang memanggil namaku. Dia Puan, sahabatku sejak kecil yang begitu baik padaku sampai sekarang. “Iya?”

“Ini.” Puan memandang sendu coklat ditanganya sebelum menyodorkan coklat itu padaku. Aku mengerenyit heran. “Ini... dari siapa?” kataku penasaran.

Puan menatapku, lalu ia menggedikkan bahunya, tanda bahwa ia pun tidak tahu.

“Mau kemana?” Aku bertanya saat Puan mulai melangkahkan kakinya ke arah tangga turun rooftoof.

“Pulang!” teriaknya dari pijakan ketiga tangga turun.

Aku menghela nafas, kuperhatikan coklat yang ada di genggaman. Jujur, aku penasaran siapa pengirimnya. Mataku memincing saat melihat tulisan di kertas coklatnya.

Sore Ain, gimana kabar kamu hari ini? Semoga sehat selalu ya, Ain aku cuman mau bilang, jangan patah semangat. Tuhan tahu kapan doa kamu harus dikabulkan. Jangan penasaran tentang siapa aku, suatu saat kamu akan tahu.’

Mataku sedikit sakit membaca tulisanya yang terlampau kecil itu. Aku tersenyum miris. “Terima kasih kalimat penyemangatnya, Orang Baik.”

            Langit semakin cantik ketika dilihat dari atas sini. Senja kali ini benar-benar sempurna. Alhamdulillah, hari ini tidak hujan. Jujur, ketika melihat senja, aku membaik. Sehancur apapun aku, ketika senja dihadirkan sebagai penutup, semua akan baik-baik saja.

Ting!

Kelamaan di roftoof bisa mengakibatkan masuk angin, Mbak!

Aku terkekeh membaca pesan masuk dari Puan. Dasar!

Perlahan aku melangkah mendekat ke pembatas rooftoof. Menatap lurus ke bawah dan melambaikan tangan ke Puan yang juga sedang melambaikan tangan dengan gembira.

“Masuk sana heiii!!!” teriaknya tanpa dosa, lalu menunjuk lubang hidungnya padaku.

“Hiss! Menjijikkan.” Aku memeletkan lidahku sebagai balasan yang ditanggapinya dengan pelototan. Hahaha ada ada saja memang, ckckck!

.

.

.

Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi Sukarno pada tanggal 11 Maret 1966. Isinya adalah perintah Presiden Sukarno kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) agar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan stabilitas situasi keamanan yang buruk pada masa itu, terutama setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Aku terus membaca materi Super Semar melalui pdf di ponsel. Karena besok ada ulangan sejarah, aku tidak mau jika nanti mendapat nilai jelek. Apa kata orang jika aku mendapat nilai hancur, tidak apa-apa jika ayahku bukan guru sejarah. Namun sayangnya ayahku adalah guru sejarah, aku bisa membuatnya malu kalau gagal ujian kali ini. Nanti orang mengira kalau ayahku tidak mau mengajari anaknya.

“Ain, kamu sudah makan, Nak?” kulihat ibu berjalan ke arahku, ia melirik ke arah ponsel yang kupegang.

Aku mengangguk. “Sudah ,Bu.”

Ibu menghela napas, “Ingat ya Ain, jangan lupa makan, ibu gak mau kamu sakit nanti,” kata ibu tersenyum.

“Ibu tenang aja, Ain pasti akan sehat selalu, Ain kan sayang sama Ibu dan Ayah” ujarku sumringan, “nanti kalo Ain sakit kan ada ibu dan ayah yang rawat Ain.”

“Ckckck kamu ini, dari dulu nggak berubah-berubah, selalu pengen dimanja.Seperti biasa, ibu mulai mengacak-acak rambutku dengan tanganya.

“Kalau nggak manja, bukan Ain namanya.”

Ibu geleng-geleng kepala. Kemudian ia mengambil sapu di samping pintu dan keluar rumah. Pastilah ibu menyapu teras depan, karena tempat tinggalku ini bisa dibilang pemukimanya ramai anak kecil, jadi tak jarang rumah kami lah yang menjadi tempat anak-anak tetangga itu bermain serimbang, dan itu membuat teras kotor. Aku sudah beberapa kali mengatakan pada ibu agar memarahi anak-anak kecil itu, namun ibu selalu bilang biarkan saja, namanya juga anak-anak. Huh! Kalau ibuku sudah mengatakan begitu, aku bisa apa.

“Kak Ain! Kak Ain!

Mataku teralihkan begitu mendengar namaku dipanggil. Dari sini, dapat kulihat Delta, anak tetangga sebelah berlari ke arahku dengan sesuatu di tanganya. Bisa kutebak apa yang berada di genggamanya. Coklat.

Delta menyodorkanya padaku. “Ambil,” katanya buru-buru.

Makasih” responku seraya tersenyum. “Eh, bentar. Kali ini dari siapa?” tanyaku sambil menahannya pergi.

“Dari kakak tampan.”

Aku menghela napas. kalian tahu? Ini adalah coklat yang kesekian kali diberikan oleh pengirim misterius itu sejak sebulan yang lalu.  Dan sampai saat ini, ajaibnya aku belum tahu siapa pengirimnya. Yang aku tahu, ia pasti tampan. Sebab Delta selalu bilang ‘dari kakak tampan.’

Sambil memegang coklat itu, aku berjalan ke kamarku. Kaki mungilku berhenti di depan kalender. Aku tersenyum, kemudian mengambil pulpen merah di atas meja dan melingkari tanggal hari ini.  01 Januari 2023.  Tiga belas hari lagi aku ulang tahun. Aku tidak sabar menunggu hari itu. Rasanya waktu berjalan begitu cepat, jujur keinginan mengulur waktu lebih besar ketimbang mengejar hari lahirku. Kalian pasti paham maksudku, ‘kan?

Aku takut pada waktu yang berjalan begitu cepatnya.

Perlahan aku duduk di tepi kasur dan membuka coklatnya.

‘Halo Ain, kalau tidak salah ini adalah coklat yang ketujuh kuberikan padamu. Aku doakan semoga kamu sehat selalu ya Ain, sebab aku sayang padamu. Ain, percayalah pada keajaiban Tuhan. Tuhan selalu ada bersama orang-orang yang sabar.  Oh ya, kamu akan melihatku di usiamu yang ke 22 nanti.’

Ke-22? Apa aku bisa merasakan angka itu? Aku tersenyum pahit. Batinku bertolak ragu.

***

Seperti perkiraan, aku mendapat nilai bagus di ulangan sejarah, aku tersenyum semringah dan lantas berjalan mendekat ke kursi Puan.

“Lihat, aku dapet nilai bagus lagi kali ini,” pamerku pada Puan yang baru saja memasukkan hasil ujianya ke dalam tas.

“Ih lihat dulu ini…” rengekku sambil terus mencolek Puan yang masih setia dengan diamnya. Tumben!

“Puan… aku—“

“Apa sih! Bisa diam engga?!”

Aku terpaku. “Kok kamu marah?” tanyaku kemudian.

Puan terkekeh dan memandangku sinis. “Terus gue harus teriak-teriak seneng gitu pas lo dapet nilai bagus? Lebai tahu, enggak.”

“Kok kamu marah… aku kan cuman—“

“Cuman apa hah?! Pamer? Helooo… biasa aja kali. Engga usah pakek acara excited segala!” Puan memutar bola matanya, kemudian meninggalkanku di kelas sambil memandang sinis. Sahabatku itu kenapa?

 

TING!

"Gue benci sama lo!"

Genggamanku pada ponsel semakin erat. Apa salahku? Kenapa Puan marah?

***

Gerimis menyambutku pagi ini, aku masih setia termenung di depan jendela kamar seraya  menyentuh kaca jendela yang dipenuhi embun pagi. Pikiranku masih bergejolak tentang Puan yang membenciku tanpa alasan. Kenapa Puan membenciku?

Jujur, aku ingin ke rumah Puan. Namun disana pasti ada Zein, kakak laki-laki sahabatku itu. Aku benci Zein, aku benci semua tentang Zein. Menghindari laki-laki itu, adalah pilihan bijak menurutku. Bukan tanpa alasan kenapa aku sangat membencinya.

Kalian tahu apa yang lebih sakit dari luka? Penyebabnya. Benar, laki-laki itu adalah penyebab dari semua luka yang aku tanggung. Aku benci ketika ia berhasil menciptakan rasa, tetapi kemudian membunuh sendiri rasa itu juga dengan sikapnya. Aku masih ingat tindakan memalukan yang ia coba lakukan padaku. Hingga saat ini, kejadian masa lalu itu berhasil membuatku trauma. Aku membenci dia, kakak sahabatku sendiri. Jika saja ibu dirumah, mungkin ia akan memukul Zein dengan bengis. Ayah? Tentu golok dibelakang akan menembus kulit kepalanya.

.

.

.

Pukul 14.00 wib

Tadi malam Puan mengajakku bertemu di Danau, katanya ada hal yang perlu disampaikan. Aku tentu senang, dan berharap kami bisa kembali seperti dulu lagi. Jujur, aku merindukan sahabatku itu. Namun, sudah dua jam lamanya aku menunggu, tetapi Puan tak kunjung datang. Padahal di pesan itu, ia memintaku lebih awal ke danau. Sebab Puan akan langsung pulang kalau-kalau aku tidak duluan menunggunya.

"Kok Puan lama, ya? apa dia gak jadi datang?" gumamku memegang jantung. "Perasaan aku enggak enak."

Ibu's calling...

"Assalamualaikum, Ibu," kataku begitu mengangkat telepon.

"Waalaikumussalam, Ain. Ain.... Ibu mau kasih tau kabar buruk, tapi kamu yang sabar ya...." Aku mengerutkan kening, jantungku semakin sesak rasanya.

“…”

“Ibu?” panggilku saat tiba-tiba hening dari seberang sana.

"Ain… Puan... meninggal dunia."

Saat itulah duniaku seakan tidak berputar lagi, aku menutup mulut tak percaya. Air mataku menetes layaknya hujan yang satu persatu turun ke bumi. Lingkunganku memburam, tubuhku goyah, sebelum semuanya menggelap. Kepergian Puan… tidak bisa kuterima. Harus kemana lagi aku pulang kali ini? Kenapa bukan aku saja yang duluan pergi? Kenapa….

Sayup-sayup… aku dapat mendengar suara laki-laki disampingku. "Kamu harus kuat Ain, ada aku yang akan menggantikan Puan menjadi temanmu. Ada aku yang akan membantumu untuk hidup. Kamu pantas bahagia, Ain."

.

.

.

Aroma obat menusuk hidungku ketika membuka mata, kepalaku terasa berdenyut. Samar-samar dapat kulihat seorang laki-laki tersenyum ke arahku dari samping brangkar rumah sakit. Sekarang sosok itu terlihat jelas, dan dengan jelas juga aku melihat ada setetes air mata jatuh dari kelopak matanya. Aku mencoba mengingat sesuatu, tapi tidak bisa. Sebab aku memang tidak tahu siapa lelaki yang ada didepanku sekarang.

"Siapa kamu?" tanyaku lirih.

"Akhirnya kamu sadar Ain, akhirnya. Terima kasih Ya Allah...."

"Kamu siapa?" Aku bertanya lagi. Namun ia hanya tersenyum. Kemudian ia kembali duduk di kursinya.

"Aku.... Wira. Wira Albania."

Aku merasa familiar dengan nama akhir laki-laki itu. Berusaha mengingat sesuatu. Air mataku kembali jatuh mengingat siapa pemilik nama itu. Nama itu milik Puan. Puan Albania, sahabatku yang kata ibu meninggal dunia.

“Antar aku jumpain Puan… Hiks!”

“Puan dimana? Puan…. Baik-baik aja, ‘kan?”

Aku berusaha duduk saat Wira hanya diam saja mendengar pertanyaanku. Menepis tanganya yang ingin membantu.

“Hati-hati, Ain—“

“Dimana Puan?!” teriakku lagi. Kali ini aku mencoba turun dari brangkar, namun Wira menahanku.

“Lepasin! Aku mau ketemu Puan! Lepasin… hiks-hiks-hiks.…”

“Puan baik-baik aja, ‘kan? Iya kan…?”

“Tolong Wira… jangan diam aja. Jawab pertanyaan aku… hiks-hiks-hiks….”

Wira masih diam.

“Kamu duduk dulu, aku akan jelasin tentang Puan sama kamu.”

Aku menurut saat Wira kembali menuntunku untuk berbaring di brangkar. Air mataku masih turun, bahkan semakin deras. Wira menghela napas dan menghembuskanya kasar.

“Puan… bener-bener udah enggak ada, Aina. Puan udah meninggalkan kita….”  Wira terdiam sejenak. “Puan meninggal, Ain.”

“…”

“Ain? Kamu baik-baik aja, ‘kan?”

Hahaha… jadi semuanya bukan mimpi, ya? Jadi semuanya benar hahaha

Isak tangisku semakin melengking, Puan udah ngga ada… lelucon macam apa lagi ini? sahabat baik aku udah ngga ada. Puan benar-benar pergi. Puan jahat!

“Meninggal? Kamu bohong, ‘kan? Ulang tahun aku udah deket, pasti prank nih. Iya, ‘kan…?”

Aku masih berusaha menepis kenyataan. Wira terdiam. Laki-laki ini menatapku sendu.

“Puan! Kamu dimana! Udah dong prank nya! Aku udah tahu!”

“Puan ayo keluar. Pasti kamu sembunyi di kamar mandi, ‘kan? Aku jumpain kamu, hahaha….”

Lagi-lagi aku berusaha turun dari brangkar. Namun kembali ditahan Wira. Laki-laki bodoh ini engga tau kalau aku  mau cari Puan, ya! “Lepasin!” teriakku marah. Puan pasti belum mati!

“Lepasin akuuu!”

“Dengar, Ain!” aku terkejut saat Wira tiba-tiba mengeluarkan bentakan. Jantungku sakit… argh! Tiba-tiba semuanya gelap. Aku benci takdir, kenapa hidupku seburuk ini…. kenapa bukan aku yang mati…

...

Sudah lima hari Puan pergi. Aku rindu Puan. Rindu tawa Puan. Dan... rindu kata semangat dari Puan. Aku tidak bisa mengganti Puan dengan siapapun. Bahkan abangnya Puan sekalipun, ya! Wira bilang, ia akan menjadi wajah Puan untukku. Tapi aku tahu, sebaik apapun nanti Wira, Wira bukanlah Puan!

Aku menatap Wira yang duduk di tempat biasa, ingin menanyakan sesuatu.

"Wira" panggilku. Ia langsung langsung mem 'pause' game nya.

"Iya?"

"Apa alasan kamu muncul di depan aku?" tanyaku intens.

"Karena kamu sahabat adikku." Wira dengan tenang menjawab. Seakan tak ada yang ia sembunyikan. Namun, aku tentu saja tidak percaya.

"Apa.... coklat itu dari kamu?" tanyaku lagi. Rasanya aku memang perlu menanyakanya pada Wira. Wira menyipitkan matanya, kemudian mengangguk. "Ya, aku yang ngasih ke kamu. Sebagai penyemangatmu."

Aku mengangguk. Namun entah kenapa di lubuk hati, aku masih ragu jika coklat itu memang dari Wira. Namun—

"Terimakasih,” kataku seraya tersenyum.

...

'Langit hari ini cerah, dunia seakan memamerkan keanggunannya. Tapi, bumi ini panas, layaknya hati yang kian hari kian meleleh dibuatnya. Bukan, perihal cinta yang tumbuh dihati manusia. Hanya hal sederhana, tentang luka yang semakin hari semakin berlaga dalam jiwa. Lelehan itu bukanya beku setelah terbakar, tapi ia malah hangus. Apa.... hidupku juga akan bernasib sama seperti lelehan itu?'

Entah kalian mengerti atau tidak tentang apa yang aku rasakan, itu tergantung kalian. Jika kalian bisa memahami perasaan yang aku ceritakan pada langit pagi ini, maka kalian pintar. Jika tidak, cobalah untuk berfikir lebih baik lagi.

Aku memegang sebatang coklat ditangan sambil tersenyum miris. Tiga hari lagi ulang tahunku, tanpa Puan. Rasanya sudah lama sekali juga aku berada di rumah sakit ini. Jujur, aku ingin pulang. Namun orangtuaku dan Wira melarangnya. Mereka bilang, ini demi kesehatanku. Padahal, mereka tahu, baik dirawat atau tidak, aku tetaplah akan mati!

"Coklat ini.... bukan dari kamu, 'kan? aku tahu, bukan kamu yang memberiku coklat, Wira." Aku membuka bungkusan coklat itu, lalu kembali menemukan pesan penyemangat seperti biasanya.

"Tuan coklat, aku ingin tahu seperti apa kamu itu. Aku cuman mau ngucapin terima kasih...." Aku berhenti sejenak, "karena.... kalau nanti aku pulang, setidaknya aku gak kepikiran lagi.” Aku bersuara parau.

Dari jendela kamar rawat inap, netraku tak sengaja melihat sesosok lelaki berkaos oblong putih dengan hoodie warna army sedang mengawasi kamarku. Lelaki itu tampak terkejut, apalagi saat melihatku dengan gesit menuju kearahnya. Ia sontak langsung berlari dari sana, mungkin tidak mau ketahuan. Tapi terlambat, aku sudah lebih dulu berada di belakangnya.

"Tuan coklat.... apa itu kamu?" laki-laki itu masih bergeming ditempatnya, antara memilih berbalik atau kabur secepatnya dari sana. Perlahan aku mendekat.

Hal yang paling menakutkan dalam hidup adalah ketika seseorang dari masa lalu muncul tiba-tiba. Padahal dulu ia yang menghilang tanpa jejak. Meninggalkan aroma yang terkikis sedikit demi sedikit oleh angin, namun abadi dalam kenangan manusia yang ditinggalkan. Aku benci kehilangan, dan aku benci harus mengulang kenangan. Tetapi aku lebih benci lagi… ketika keadaan memaksaku melihat Zein dengan tegaknya berdiri didepan.

 

Aku meneguk ludah kasar, spontan berbalik, berniat pergi. Namun tertahan, sebab Zein mendekapku erat dari belakang.

"Le—lepas, Zein...." aku berucap lirih. "Lepas!" Kali ini dengan sedikit pemberontakan.

Pelukan itu pun terlepas, bukan karena Zein yang melepas, namun saat tubuhnya melayang sebab ada bogeman hinggap di pipinya tiba-tiba. Wira!

Bruk!

Zein tersungkur. Disekanya darah yang keluar dari sudut bibirnya, ia meringis. Spontan matanya menatap nyalang kea rah Wira. Aku dapat melihat kilatan amarah itu memancar dari bola matanya.

"Apa maksud lo?" Zein berjalan ke arah Wira. Ia tidak peduli tentang marga Albania yang ada dibelakang namanya. Darah tak mengharamkan untuk saling membunuh, 'kan?

"Busuk!" Zein langsung membanting tubuh Wira murka. Kenapa Zein terlihat sangat membenci Wira?

Aku membekap mulut melihat apa yang terjadi. Tubuhku bergetar, takut pada murka Zein. Jujur, ini pertama kalinya Zein menampakkan amarahnya didepanku. Zein akan menendang wajah Wira kalau saja aku tidak pingsan secara tiba-tiba.

.

.

.

Author PoV

Brak!

"Cowok sialan!"

Buk-buk-buk!

Tubuh Wira terlempar kesana kemari saat Zein tanpa henti meninjunya. Ia kalut. Pikiranya sudah kosong, ia membenci ini semua.

"Apa yang udah lo lakuin selama ini hah! gara-gara lo dia pergi, dia pupus harapanya...."

Wira menyeringai keji, ia menyeka darah yang mengalir di sudut bibirnya, "Gue gak ngelakuin apapun sama dia, dianya aja yang lemah. Dia lemah, tanpa abangnya disampingnya."

Zein semakin kalut mendengar omongan Wira.

"Dasar gila! Puan itu adek lo juga tolol, kenapa lo singkirin dia! Dasar sampah"

"Lo juga yang udah renggas seluruh pengharapan Ain, Puan itu tempat dia curhat dan beegantung, tanpa Puan Ain akan semakin melemah" Zein mengacak kasar rambutnya, ia khawatir Ain akan semakin memburuk.

 “Gue? Nyingkirin Puan? Ngga salah ngomong lo? Coba lo pikir, siapa dalang yang pantas disalahkan atas segalanya. Lo pikir yang ada di samping Puan setiap dia lemah itu siapa? Lo? Bukan kan! Gue yang ada disampingnya! Lo kemana aja hah!?”

"Aneh, ya? Padahal Puan adik kandung lo, tapi gue ngerasa kalo Ain diatas segalanya."

Zein terdiam, giginya menggigit geram, meski air matanya juga ikut menetes tanpa permisi. "Karena Puan menganggap hal yang sama pada Ain, Ain lebih berharga diatas segalanya."

Wira berdecih, omong kosong!

"Itu sebabnya lo buat Puan jadi penyangga selalu untuk Ain, bahkan disaat dia sendiri enggak mampu berdiri, dia harus tetap jadi penopang yang kuat, dan lebih bodohnya yang kasih perintah itu adalah abangnya sendiri."

Kali ini Wira bangkit. Bogeman ia berikan pada pipi Zein, disusul tepuk tangan meremehkan.

"Cih! Lo tau nggak? Puan, adek tersayang gue itu, bahkan punya harapan yang lebih tinggi daripadan Ain, tinggi banget malah, sampek sekadar untuk ngabulin itu aja Tuhan bakal mikir."

Wira tersenyum sinis saat melihat Zein bungkam. Kesempatan bagus menurutnya!

"Lo tau 'kan kalo Puan punya penyakit yang bahkan lebih parah dari Ain, umurnya bahkan lebih singkat dari Ain, tapi apa yang lo buat? Lo malah suruh dia buat jaga sahabatnya itu, buat dia nanggung beban penyakit sendirian, belum lagi beban penyakit sahabatnya sendiri"

Suasana semakin memanas, Wira bahkan mulai meneteskan air matanya. Ia tidak tahan mengingat betapa malang adik tersayangnya.

"Lo tau apa harapan puan selama ini? Dia cuman pengen lo kasih semangat ke dia juga, kayak lo kasih semangat ke Ain pakek coklat. Lo gila tau enggak? Ain yang notabenenya gak ada hubungan apa-apa sama lo malah lo dukung, sedangan adik kandung lo sendiri, malah lo suruh jagain orang lain, padahal lo tau, dia juga berjuang melawan penyakitnya!"

Wira sudah jatuh terduduk di tanah, air matanya tidak berhenti menetes.

“Puan… sengaja gue percayakan ke lo. Gue pikir, Puan akan bahagia tinggal sama lo. Tapi ternyata… semua kebalikanya… gue bodoh ngasih kepercayaan penuh sama lo. Apa ngga ada sedikit aja rasa kasian lo sama adek lo sendiri, Zein… kenapa Zein….” Wira terisak.

"Satu hari setelah tau Ain dapat nilai bagus di ujian sejarah, Puan merasa terpuruk. Dia ngerasa gak adil bagi dia. Kenapa semua berpihak pada Ain, bahkan abangnya sendiri. Lo tau? Gue yang ngeliat dia nangis sambil curhat di kamarnya sendirian ikut ngerasa sedih. Gue kecewa saat tau ternyata lo jga pendukung kesedihan dia..." Wira menatap kosong kearah Zein, "Zein, seharusnya lo gak kayak gitu ke Puan, dia adik lo , kenapa lo buat dia jadi penopang hidup orang lain, kenapa Zein?"

Wira memilih pergi dari sana, sebelum pergi ia sempat berbalik, "Satu hal yang perlu lo tau, gue enggak nyingkiring Puan, dia yang memilih pergi karena lelah dengan hidupnya, bahkan di nafas terakhirnya pun, Puan sempat bilang sama gue untuk jagain Ain, gantiin dia sebagai penopang Ain, harapan dia adalah ingin Ain baik-baik aja."

Selepas kepergian Wira, Zein meneteskan air matanya, ia sungguh tidak tahu bahwa Puan menderita selama ini, bukan! Tapi Zein sendiri yang menyangkalnya. Kali ini Zein sungguh menyesal.

Ini memang salah Zein, selama ini ia meminta adiknya itu untuk menjaga Ain, namun ia tidak pernah mendukung Puan, bahkan ia lupa jika Puan juga sakit, ia dibutakan oleh cinta. Hingga tanpa sadar mengorbankan adiknya sendiri. Bodoh!

"Maafin gue Puan, adek abang, hiks...hiks...hiks...."

Dengan langkah gontai, Zein meninggalkan taman belakang rumah sakit. Ia harus ke kamar Ain, untuk mengecek keadaan gadis itu.

Tubuh Zein membatu saat melihat mamanya Ain menangis histeris di luar ruangan rawat inap anaknya. Zein berfirasat buruk. Air matanya menetes saat siluet seseorang yang berbaring di tempat tidur rumah sakit sedang di dorong keluar dari kamar. Tanpa harus membuka kain penutup orang itu, Zein tahu siapa dibaliknya.

Mata Zein memburam, ia berlutut di lantai dingin rumah sakit

Sesakit inikah? Saat pengharapan mu tidak dikabulkan Tuhan.

Apa ini yang dulu adiknya rasakan? Hidup tanpa ada harapan.

Ia menolak harapan Puan

Ia mengorbankan Puan

Dan kini, ia tidak bisa mewujudkan harapan Puan yang ingin sahabat baiknya , Aina Silia agar baik-baik saja.

Isakan  tangis Zein semakin menggema, ia tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Ia tidak perduli kepada orang yang melihatnya kasian. Ia benar-benar tidak peduli.

Kini harapan Zein  sudah musnah, keinginannya agar Ain bisa lama hidup dengannya di bumi sudah pupus, sebab Ain sudah pulang. Ia memilih sembuh dengan cara yang berbeda.  Tuhan mengabulkan doanya.  Benar, ia sudah sembuh, Tuhan mengangkat penyakitnya.

Kini... Ain sudah tidak kesakitan lagi.

Puan juga tidak kesakitan lagi

Apakah Zein boleh meminta pada Tuhan juga agar tidak kesakitan?

 

Nb :Mencintai itu boleh, tapi sewajarnya. Jangan mengorbankan sesuatu yang sebenarnya juga butuh untuk diperjuangkan.

 

Tamat....

Komentar

Postingan Populer