Salah Jurusan; Cerpen Terbaik 2022!
Berbagai dilema salah jurusan bakal terus menghantui mahasiwa. Bahkan salah jurusan ini sendiri menjadi hantu terbaik bagi mahasiswa baru, sebelum akhirnya mereka mampu menerima takdir dengan lapang dan tersenyum karenanya. Jadi saya sajikan cerita berikut untuk kalian, jangan lupa kritik dan saranya ya :)
...
Salah Jurusan
oleh Insa
"Kak Gen! Sutt! Kak!"
Aku menyenggol-nyenggol kursi kak Gen yang berada tepat di depanku. Saat ini kelasku sedang mytes mata kuliah Ekonomi Deskriptif, tentunya dengan cuaca cerah dan matahari yang memamerkan senyumnya. Akan tetapi, senyum matahari tidak menular padaku. Tidak sama sekali!
Aku mendengus kesal saat kak Gen bahkan tidak mau menoleh, padahal dia tahu, kalau aku butuh dia. Lebih tepatnya, butuh otaknya untuk membantuku menyelesaikan soal yang berada di atas mejaku sekarang.
Baiklah. Jangan salahkan aku jika nanti soal ini penuh dengan jawaban yang salah. Lagipula, kak Gen yang akan di marah ibu, bukan aku. Siapa suruh tidak mau mengajari adiknya yang cantik ini, walaupun aku tetap tidak paham sama sekali, hehehe.... Tamatlah riwayatmu, kak Gen.
"Sudah selesai? kumpulkan hasil mytes ke Komting, nanti Komting antar ke meja saya, ada sesuatu yang perlu saya urus di Akademik. Sampai bertemu di kuliah selanjutnya."
Fiuh! Akhirnya neraka dunia sudah selesai. Aku mengumpulkan kertas jawabanku beserta soal begitu komting berdiri menjulang di samping mejaku. Dengan wajah merengut judes, aku menghampiri meja kak Gen. "Gak usah ajak bicara Genia lagi!"
"Geni..." panggil kak Gen begitu aku berbalik untuk pergi dari sana. Dapat kurasakan salah satu tanganya menahanku, "dengarkan kakak dulu..." ucapnya kemudian. Kak Gen menarikku keluar dari kelas, entah kemana dia akan membawaku. Dia menghentikan langkahnya tiba-tiba, tepatnya di Taman kampus. Kak Gen memerhatikanku dari atas sampai bawah.
"Apa!"
"Genia, apa tujuan kamu kuliah?"
Aku mengernyitkan kening dalam begitu pertanyaan aneh keluar dari mulut kak Gen.
"Biar pinter."
"Terus kamu pinter?"
"Yaudah biar ada gebetan baru"
"Mana gebetan kamu?"
"Ish! Pengen dapat ijazah lah!"
Dapat kulihat, kak Gen menghela nafasnya. Aku tahu dia dia kesal, tapi bagaimanapun, memang seperti itu 'kan tujuan semua orang kuliah?
Kak Gen menuntunku ke bawah salah satu pohon rindang di sana, lalu ia duduk beralas rumput hijau, aku mengikuti kak Gen, ikut duduk tepat di sebelahnya. Selama lima menit, kak Gen hanya diam. Tidak melihatku, ataupun berbicara satu kata padaku.
"Kak Gen?" panggilku memecah keheningan diantara kami.
"Genia enggak suka di sini. Kak Gen tahu 'kan Genia susah adaptasi. Belum lagi Genia kuliah di Fakultas ini karena salah jurusan," ujarku lirih. Perlahan kepalaku menunduk, enggan menatap kak Gen yang kini fokus melihat ke arahku.
"Genia, enggak semua kemauan yang ada di dalam diri jatuh pada kata 'terkabulkan'. Genia mungkin memang salah jurusan, tetapi Allah enggak pernah salah dalam menetapkan. Tugas kita sebagai manusia adalah berusaha, dan Genia sudah melakukan hal itu sebelum lulus di Fakultas ini."
Aku mendongkak saat mendengar kalimat panjang itu keluar dari mulut kak Gen. Mataku menatap kak Gen nanar.
"Genia udah berusaha keras, Kak. Tetapi tetap aja 'kan semuanya enggak mungkin. Genia daftar jurusan yang beda di Fakultas. Berharap jika pilihan pertama yang lolos, tetapi malah jurusan yang Genia jadikan sebagai pilihan kedua yang menerima Genia...."
"Dan parahnya... Genia bahkan enggak suka sama sekali dengan jurusan itu," ucapku lagi seraya mengusap air mata yang mengalir di pipi.
Kak Gen masih diam. Ia menatapku dengan sorot mata iba, aku tahu kalau kak Gen ingin mengatakan sesuatu sekarang, akan tetapi ia memilih bungkam.
"Kak Gen tahu? Di SMA, Genia belajar giat sekali untuk bisa mendapatkan jurusan yang Genia mau. Apa usaha Genia tidak ada artinya sama sekali di mata Allah?"
Kak Gen mengusap pelan tanganku yang berada di atas pangkuan. Ia tampak menghela nafas. Atmosfer yang ada di sekitar kami terasa mendingin. Berbeda dengan suhu di masing-masing kepala kami. Aku mengerti dan paham, kak Gen ingin marah kepadaku, sebab mengatakan jika Allah tidak ada pengertian. Biar aku beritahu, kak Gen itu orangnya alim, sholatnya tidak pernah tinggal. Bahkan di Kampus pun, ia hanya mengikuti kegiatan yang berbau islami. Walaupun kami berdua lahir dari orangtua yang sama, sifat kak Gen dan aku sangat jauh berbeda.
"Genia, jangan berkata seperti itu. Allah mengatur takdir hambanya dengan sebaik-baiknya takdir. Jika kali ini kamu jatuh di jurusan yang salah, mungkin Allah sedang menunjukan jika kamu memang lebih baik di jurusan ini. Genia, jangan lagi merutuki takdir, tidak baik. Lebih baik sekarang kamu fokus dengan apa yang sudah menjadi tanggung jawabmu sekarang."
"Tapi kak Gen, Genia enggak ngerti apa-apa. Rasanya itu seperti keluar dari rumah, dan memilih masuk ke dalam labirin. Sulit, Kak Gen," gerutuku pelan. Mataku melirik tajam saat melihat kak Gen terkekeh pelan. Ia menyodorkan satu permen kopiko kepadaku. Tentu saja aku menerimanya dengan senang hati.
"Nanti kalau enggak tahu, tanya saja sama Kakak."
Bolehkan aku tertawa? Tolong siapapun tenggelamkan saja aku di muka bumi. Mendengar kak Gen bicara begitu, rasanya mulutku siap untuk terbuka selebar-lebarnya. Untuk menertawai kak Gen sampai puas.
"Kak Gen lagi enggak ngelawak 'kan? Please, Kak. Dunia udah gelap, jangan lagi ditambah gelap," gerutuku kesal. Kak Gen tertawa. Tuh, 'kan benar!
"Ahaha maaf-maaf. Eh, tetapi kakak pintar loh, kakak cuman enggak lewat satu mata kuliah aja 'kan? Lagipula itu karena kakak sibuk dengan organisasi luar Kampus waktu itu untuk beberapa hari. Dan enggak sempat masuk untuk pelajaran itu. Kakak enggak bodoh, loh, ya!"
Benar juga. Kak Gen itu suka sekali berorganisasi. Jadi wajar sih kalau dia tidak lewat di satu mata kuliah. Lagipula, hanya satu mata kuliah itu saja yang mengharuskan dirinya untuk ulang. Ya... mata kuliah yang ada di kelasku tadi itu, Statistik Deskriptif. Kita pasti ingat dengan konsep biaya peluang. Biaya peluang adalah biaya yang harus kita keluarkan untuk mendapatkan sesuatu. Seperti kak Gen, dia mengorbankan satu mata kuliahnya agar bisa ikut kegiatan bakti sosial di luar Kampus.
Kak Gen itu semester tiga sekarang, dan aku semester satu. Aku dan kak Gen beda peminatan, kalau aku lebih suka berbisnis yang lebih dekat dengan perusahaan, sedangkan kak Gen lebih suka mempelajari tentang ekonomi Indonesia. Kak Gen bilang, dia ingin ikut memajukan Indonesia dengan meningkatkan pembangunan di negara tercinta ini. Itulah kenapa aku lebih suka jurusan Manajemen, sedangkan Kak Gen lebih menyukai jurusan Ekonomi Pembangunan.
Akan tetapi, takdir tidak memihak padaku. Aku jatuh di Jurusan Ekonomi Pembangunan, pilihan keduaku di SNMPTN. Namun nilai positifnya walaupun aku akhirnya di jurusan ini, ternyata ilmu bisnis tidak hanya di pelajari di Ekonomi Manajemen saja, di Ekonomi Pembangunan pun juga di pelajari. Aku lega mengetahui hal ini. Setidaknya dengan adanya mata kuliah itu, jurusan ini mampu menarik minatku. Dan ternyata, setelah aku menjalaninya lebih jauh dengan ikhlas, perlahan hatiku luluh dengan sendirinya. Aku sudah mencintai semua mata kuliah yang ada di jurusan ini.
Aku berterima kasih pada kak Gen yang sudah menasehatiku waktu itu. Aku masih ingat, satu kalimat panjang yang di ucapkan kak Gen di penutup perbincangan kami. Kak Gen bilang, "Sesuatu yang tidak bisa di terima oleh kita, jika bisa kita ubah dengan kata 'ikhlas', maka semuanya akan berjalan baik seperti harapan kita. Belajar menerima, Genia. Percayalah... kelak kamu akan menuai semuanya dengan bahagia. Allah itu luar biasa, Gen. Sekarang kamu harus semangat, dan belajar lebih giat lagi. Janji, ya, Gen...."
.
.
.
"Genia?"
Aku menoleh begitu suara kak Gen memanggilku dari depan Gedung Ekonomi Pembangunan. Suaranya begitu nyaring, bahkan beberapa senior EKP yang sedang duduk di kursi bundar pun memandang kak Gen sinis. Bagaimana tidak, mereka mungkin tengah berdiskusi di sana, dan suara kak Gen mengusik mereka.
"Berisik, Kak. Malu tahu dilihat orang," protesku begitu berada tepat di hadapanya. Kak Gen hanya terkekeh, kemudian menarikku seperti biasanya. Aku tahu tujuan kak Gen kali ini, tempat adem dan banyak jejeran buku di sana. Kalian pasti tahu tempat seperti apa itu.
Kak Gen-ku... memang yang paling the best!
SELESAI




Komentar
Posting Komentar