Seharusnya Tidak Rumit; Cerpen 10 Juni 2023
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Udah lama juga ya aku nggak update apapun di blog, seperti biasa sih, bukan mager tapi memang engga sempat aja,, soo kali ini aku mau update untuk hari ini, ini naskah yang aku siapkan ketika aku udah sekian lama engga nulis apapun hehe. Semoga ngga jelek-jelek banget sih hmm,, selamat membaca pembaca gelap!
.
Seharusnya Tidak Rumit
Oleh Insa
Bagi seorang Artha
Anindia, tidak ada yang namanya definisi kebahagian realita, yang tertulis
hanya definisi ilusi bahagia. Perkenalkan, namaku Artha. Aku gadis berumur 19 tahun
yang sering mencoba lari dari kenyataan namun tidak pernah berhasil. Aku tidak
tahu cara mengakhiri kisahku dengan happy ending. Aku hanya mengerti
satu hal, tidak ada kesempatan bagi gadis sepertiku untuk memiliki ‘dia’,
apalagi mewujudkan sebuah ilusi menjadi realita.
Semenjak kakak laki-lakiku kabur dari rumah, aku tidak
tahu apakah kenyamanan itu benar-benar ada di muka bumi atau tidak, yang aku
tahu, aku masih berdiri tegak di atas tanah tanpa siapapun, mungkin ada ibuku,
akan tetapi sama saja rasanya tidak lengkap. Biasanya ada kak Arthur yang
berteriak-berteriak tidak jelas layaknya orang gila, atau ada adikku Jenny yang
berceloteh panjang kali lebar tentang kegiatanya di sekolah.
Akan tetapi, sayangnya adikku itu sudah meninggal dunia
sepuluh hari yang lalu. Tepat saat Kak Arthur melarikan diri setelah berhasil
menenggelamkan Jenny di dalam bak kamar mandi. Kukira, sebuah pertengkaran
tidak akan pernah melibatkan nyawa, maksudku nyawa saudara sendiri, nyatanya
apapun bisa dilakukan hanya demi kata ‘kemenangan’.
“Bagaimana kabar Jenny saat ini?”
Aku mengusap pelan bahu ibuku saat ia kembali lagi
meracau dalam tidurnya. Hatiku perih, rasanya sesak yang tidak terkira. Setelah
dua saudara lenyap, kali ini ibuku mengidap depresi. Ia suka teriak-teriak atau
menangis keras, dan terkadang aku suka meniru sikapnya, rasanya akupun seperti
sudah hilang kewarasan untuk terus bertahan hidup di muka bumi.
Angin malam menembus jaket wol yang aku kenakan. Suara
jangkrik atau tokek yang keluar dari atap rumah dan kebun sebelah menghilangkan
kesan sepi. Air mataku kembali menetes, tentunya dengan isakan tertahan.
“Artha!”
Aku mengernyit heran saat melihat Davin tiba-tiba berlari
tergopoh-gopoh dari arah kebun. Wajahnya tampak menegang ketika aku menatapnya
dengan mata nanar. Ia kemudian langsung merengkuh tubuhku erat.
“Davin...” isakku pelan.
Pelukan Davin sangat hangat. Aku merasa nyaman sekali. Oh
Tuhan, bolehkah aku memilikinya hanya untukku saja? Bolehkah aku egois jika
menyangkut tentangnya?
“Sabar,” ucapnya seraya mengeratkan pelukan.
“Berapa lama lagi, Davin....”
“Aku tahu kamu kuat.”
Ya, aku tahu aku kuat. Akan tetapi, kedua kakiku sudah
mulai enggan untuk pura-pura kokoh lagi. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara
bertahan lebih jauh. Benar-benar tidak tahu.
Tiba-tiba Davin bangkit perlahan, ia menuntunku entah
kemana menembus kegelapan. Aku masih terisak tanpa suara, terus melangkahkan
kaki mengikuti dirinya yang ternyata membawaku menuju bukit kecil yang ada di
desa kami. Bukit ini bernama Bukit Tiga Sisi.
Davin kemudian duduk lesehan di atas sebuah batu yang ada
di sini. Cahaya bulan yang memantul ke wajahnya memancarkan sosok sempurna itu
dengan baik. Davin terlihat sangat tampan. Wajar jika Davin sering disebut
‘cocok’ menjadi pasangan Rindi, sahabat baikku.
“Gimana?” tanyanya padaku seraya memamerkan senyum yang
begitu tulus.
Aku berusaha menyadarkan diriku begitu melihat senyum
itu. Senyum yang bukan milikku dan tidak akan pernah menjadi milikku.
“Apanya?” tanyaku datar, berusaha keras menyembunyikan
degup ‘kurang ajar’ yang setiap hari ada ketika melihat manusia bernama
‘Davin’.
Dapat kulihat Davin memutar kedua bola matanya, setelah
itu mendegus kesal mendengar responku.
“Kamu ngapain ke rumah aku malem-malem?” tanyaku aneh.
Pasalnya baru kali ini Davin ke rumahku saat malam hari. Aku mengernyitkan
kening saat melihat Davin mengangkat telunjuknya seperti baru teringat sesuatu.
“Oh iya! Aku tadi lihat Arthur.”
Keningku semakin mengernyit begitu mendengar ‘kalimat’
tiba-tiba itu dari mulut Davin. Darahku berdesir hebat, kepalaku semakin
berdenyut-denyut.
“Dimana...?” responku lirih. Aku mengira kakak
laki-lakiku yang satu itu sudah mati atau bunuh diri karena rasa bersalah sudah
membunuh Jenny, namun ternyata Kak Arthur masih hidup. Aku bukanya tidak senang
dia masih hidup, akan tetapi aku hanya benci jika dia masih bisa hidup bahagia
setelah membuat semuanya hancur berantakan.
“Di perbatasan desa. Raut wajahnya kelihatan kacau. Aku
coba manggil dia, tetapi dia langsung kabur dan enggak noleh sedikitpun ke
belakang.”
“Aku rasa dia nyesal,” sambungnya serius.
Menyesal? Aku bahkan ragu dengan kata itu. Kak Arthur
sejak dulupun memang tidak pernah bersikap baik terhadap kami, terkhusus adikku
yang paling kecil. Alasanya simple, Jenny adalah anak ketiga yang lahir
dari lain ayah.
“Enggak usah bahas dia lagi. Aku harap, dia menderita
selamanya. Enggak ada tempat yang cocok bagi manusia seperti dia selain kerak
neraka.”
Aku langsung bangkit dari dudukku dan berjalan pelan ke
pinggiran bukit. Netraku menatap lepas ke langit. Di sana bintang bertaburan
dengan indahnya. Di antara seluruh bintang itu, ada satu bintang yang paling
terang. Lalu di antara ribuan bintang, ada satu bulan yang paling menawan.
“Arthur tetap aja saudaramu.”
Aku tersenyum mendengar suara Davin yang ternyata sudah
berada di belakangku. Perlahan aku menoleh ke arahnya begitu ia berdiri gagah
di sampingku.
“Saudara kalau cuman status aja, untuk apa?” alisku
terangkat menantang.
Davin tersenyum. “Benci saudara tetapi juga enggak mau
bahagia untuk apa?”
Aku terdiam, sebelum pada akhirnya aku tertawa
membenarkan perkataanya. Mataku kembali menatap langit.
“Tha, bahagialah. Kamu engga sendirian. Kamu punya Ibu,
Rindi dan... aku.”
Aku kembali menoleh ke arah Davin. Sembari tersenyum
tulus, aku mengangguk. Dia benar.
“Iya, aku tahu. Aku akan usaha,’’ ucapku lirih.
Aku juga akan berusaha untuk mengontrol perasaanku, ucapku
dalam hati.
Davin lantas duduk di atas rumput. Mau tak mau aku juga
ikut duduk di sana.
“Gimana hubungan kamu sama Rindi?” tanyaku tiba-tiba yang
berhasil membuat wajah Davin terkejut sekaligus memancarkan sinar bahagia.
Sebahagia itukah dia jika menyangkut Rindi?
“Baik. Dia masih Rindi yang dulu,”jawabnya pelan sambil
tersenyum lagi.
“Vin, kamu tahu enggak kaitan antara bintang dan bulan?”
tanyaku spontan. Aku tidak tahu kenapa aku menanyakan hal ini.
Davin tampak berpikir, sebelum akhirnya menjawab bahawa
ia tidak tahu. Sambil menatap langit, aku menunjuk bulan.
“Itu kamu.”
Telunjukku lalu beralih menunjuk bintang yang paling
terang. “Itu Rindi.”
Davin terlihat mengernyit, ia menatap heran ke arahku.
“Terus kamu yang mana?” tanyanya tiba-tiba.
Aku tersenyum manis, lalu menunjuk salah satu bintang di
langit yang paling redup cahayanya. “Itu aku.”
“Kok kamu pilih yang redup?” tanyanya lagi.
Aku menghela nafas pelan. Perlukah aku menjawab
pertanyaan yang dilontarkan olehnya? Itu adalah jawaban yang akan menjadi
‘pernyataan’ di percakapan kali ini. Entah kenapa, hatiku merasa perlu untuk
menjawab pertanyaan itu.
Aku menghadapkan tubuhku padanya.
“Di cerita kisah kasih, hanya boleh ada dua sosok yang
paling terang, yaitu pemeran utama. Kamu dan Rindi adalah pemeran utama.
Sedangkan aku hanyalah pemeran antagonis yeng harusnya menyigkir dari sebuah
cerita agar pemeran utama selalu bahagia.”
Aku terdiam sejenak. Lalu--
“Aku dan Rindi memang sama-sama bintang, tetapi aku kalah
terang darinya. Bagi seorang bulan, tentu saja bintang yang paling terang itu
sangat menarik, begitu pula sebaliknya. Sedangkan aku, aku hanyalah kebetulan
di ciptakan Tuhan dengan wujud yang sama seperti Rindi. Makhluk yang bernama
perempuan, juga perumpamaan bintang dengan perbedaan terang.”
“Vin, aku harus menghilang,” ucapku seraya menunjuk
bintang redup itu yang sudah tidak ada lagi di langit.
Aku merasa bersalah saat melihat Davin terpaku di
tempatnya. Ia menatap intens dengan rasa bersalah ke arahku. Pertahananku
goyah, perlahan air mataku mulai turun.
Aku langsung membuang wajah dan kembali melihat ke langit.
“Vin, bulan itu sangat terang, ‘kan? Bintang itu juga.
Kalian cocok sekali. Aku emang enggak tahu diri, bisa-bisanya aku suka sama
pacar sahabat aku sendiri. Aku sadar diri kok, Vin. Kalian adalah ‘kita’,
sedangkan aku dan kamu enggak akan pernah bisa menjadi ‘kita’.”
“Maaf ya, Vin. Anggap aja aku enggak ngomong apa-apa
malam ini.”
Tangisku semakin sesak saja, apalagi ketika melihat Davin
hanya diam seribu bahasa. Raut wajah ‘rasa bersalah’ yang muncul di wajahnya
itu berhasil membuatku sadar, jika Davin memang tidak akan pernah menoleh ke
arahku.
Ia sama seperti laki-laki lain, yang memberikan
perhatian kepada perempuan menyedihkan hanya untuk menghibur saja. Tanpa
laki-laki itu sadar, sedikit perhatian kecil yang diberikan untuk perempuan,
akan mampu membuat dunia perempuan itu jungkir balik. Bahkan sulit untuk menata
kembali dunianya sendirian jika sudah berhasil di luluh lantakkan.
Perlahan aku bangkit dari dudukku. Berjalan menjauh dari
Davin yang masih setia dengan keterpakuanya.
“Maaf....”
Aku menghentikan langkah dan berdiri terpaku begitu
ucapan itu terdengar samar-samar dari mulut Davin. Air mataku kembali luruh.
Dengan senyuman miris, aku berbalik, kembali menatap Davin yang melihatku
dengan nanar.
“It;s Oke, aku baik-baik aja.”
Usai mengatakan kalimat sok kuat itu, aku langsung berlari menjauh dari sana. Dunia Davin memang tidak pernah ada aku. Duniaku selalu ada nama laki-laki itu. Efek mencintai seseorang tanpa dicintai itu ternyata sakitnya seperti ini. Jika aku tidak jatuh cinta, seharusnya tidak serumit ini, ‘kan?
.
.
Tinggalkan komentar lah ckckck hehe




Komentar
Posting Komentar