Cerpen Cintai Bahasa Ibu : Filantrofi Sang Pengejar Mimpi
Cerpen Cintai Bahasa Ibu: Filantropi Sang Pengejar Mimpi
Oleh Insa
Lampu jalan itu terlihat
sekarat—hidup mati—ketika aku melewati gang menuju rumahku yang ada di ujung
jalan sana. Hawa dingin terasa menusuk sekali saat jam tanganku menunjukan
pukul 21:34 Wib, ditambah lagi aku hanya mengenakan seragam pelayan tempatku
berkerja, dan tentunya dengan lengan pendek dan kain yang agak kaku teksturnya.
Mereka yang kupakai ini hanya berfungsi sebagai penutup, bukan penghangat di
musim penghujan seperti sekarang.
“Bagas!” panggil seseorang dari belakangku yang suaranya
terasa familiar. Akan tertapi, ketika aku berbalik ‘rupanya’ tidak familiar
sama sekali. “Bagas, ‘kan?” tanyanya
lagi seraya tersenyum cukup manis padaku. Wajahnya terlihat sumringan ketika aku
menganggukkan kepala.
“Kenalkan, namaku Jingga Sastra Alemanus,” katanya seraya
menyodorkan tangan kananya.
Aku terdiam. Masih merasa bingung dengan perkenalan
tiba-tiba ini. Akan tetapi, untuk menghargai keramah-tamahanya, kubalas
tanganya. “Bagas Pranata,” ucapku kemudian. “Mau pulang?” tanyanya lagi. Aku mengangguk sebagai
balasan.
“Besok, kita jumpa di sini lagi, ya?”
“Hah?” kagetku. Ada apa denganya? Kenal saja tidak, sudah
mengajakku berjumpa lagi, di tempat ini dan jalan sepi yang terlihat menyeramkan.
Dia yang aneh, atau aku yang lebay? Kurasa argumen pertama lebih cocok.
“Hahaha bukan malam-malam. Tapi besok pagi. Aku mau tanya
soal tugas sama kamu,” ucapnya tiba-tiba dengan wajah secantik apel merah.
Aku mengernyit. “Tugas apa?” tanyaku heran. Pasalnya
berjumpa saja baru hari ini, kok kami memiliki tugas. Dapat kulihat wajahnya
menatapku sama heran.
“Anak kelas internasional juga ‘kan?”
“Iya--”
“Nah, kalau begitu kamu pasti tahu tugasnya apa.”
Aku menggangguk paham. Ternyata tugas itu.
“Boleh... tapi pagi-pagi sekali bisa tidak? Soalnya aku
kerja di Kafe dari pukul dua siang sampai sembilan malam lewat.” Jingga terdiam begitu mendengar tawaranku mengenai waktu.
Akan tetapi tidak lama ia langsung mengangguk.
“Yaudah, aku pulang, ya. Mau istirahat, selamat malam,
Jingga.”
Usai mengatakan hal itu, aku langsung pergi dari sana.
Jujur, hari ini aku sangat lelah dan butuh istirahat cepat.
Rumah sederhana dengan warna di dominasi coklat kayu itu
adalah rumahku. Bagi orang kaya, mungkin rumahku cocok dikatakan kumuh, akan
tetapi aku tetap cinta pada rumahku yang nyaman ini, setidaknya bagiku rumah
ini sudah menjadi alat penghindar dari tidur di emperan, semua ini sudah cukup.
Nyatanya kata ‘istirahat’ yang tadi ku angung-agungkan
kembali aku kesampingkan begitu menginjakkan kaki di kamar dan sudah selesai
mandi. Aku ingat belum membuat sambungan cerita dari novelku di APK Wattpad dan
Noveltoon. Aku memang lelah, mengantuk juga, akan tetapi aku tidak mau tidak
konsisten. Kasihan para pembaca novel online-ku yang aku dapatkan dengan susah
payah memilih pergi hanya karena kemalasanku dalam update.
Dengar-dengar, kaka anak kelas internasional, ya? Kok
nulisnya gak pakai bahasa inggris?
Aku
mengernyit saat melihat satu pertanyaan yang menurutku aneh tiba-tiba
bertengger di kolom komentar ceritaku di wattpad. Memangnya ada yang salah
dengan kelas internasional dan bahasa indonesia?
Iya betul, kamu mau ikut gila kalau sahabatmu gila
juga?
Iya, misalnya sahabatmu gila, kamu harus gila juga untuk
seragam? Seperti yang kamu tanyakan barusan, jawaban saya adalah saya suka
menulis dengan bahasa saya.
Kenapa enggak bahasa asing juga? Dipadukan gitu....
Saran kamu bagus, boleh dicoba. Tapi nanti, ya. Soalnya
untuk target pembaca dalam negeri, rasanya lebih cocok menggunakan Bahasa ibu,
dan bahasa indonesia lebih penting bagi saya. Rasanya menulis dengan bahasa
saya sendiri, itu lebih dinikmati pembaca dalam negeri.
Lah, kalau bahasa indonesia lebih penting, kenapa ngambil
bahasa internasional? Dan jika menggunakan serapan asing, kan bisa membuat
pembaca paham juga dengan adanya catatan kaki
Nih anak gabut kali ya? Ckckck namun tetap aku membalas komentarnya.
Karena saya ingin punya relasi yang lebih luas lagi, dan
rasanya membaca buku yang memilki catatan kaki atau tidak, jujur saja lebih
memberi pemahaman oleh buku tanpa catatan kaki.
kenapa enggak milih sekolah sastra aja, Kak?
kenapa enggak milih sekolah sastra aja, Kak?
Aku
terdiam cukup lama, lalu terkekeh saat sadar jika aku sedang di introgasi oleh
salah satu pembacaku.
Introgasi nih, ceritanya? Wkwkwk...
Ehehehe iya, Kak. Dan lagi pula, aku memang penasaran
aja. Oke deh, Kak. Lanjut aja nulisnya. Di tunggu next nya ya, Kak....
Emang ada yang salah ya dari menggunakan Bahasa Indonesia?
Padahal Bahasa Indonesia
adalah bahasa khas sendiri. Kita sudah sepatutnya bangga dengan bahasa kita ya
kan. Bahkan banyak orang lain yang ingin mempelajari bahasa Indonesia. Aku
menghela napas. Fix sih ini yang salah adalah ke kepoan rakyat Indonesia terhadap
orang lain yang semakin marak sepertinya hmm.
.....
Cerpen|24072023|insa



Komentar
Posting Komentar