Be A Great Muslimah: Menjadi Wanita Penuh Batas Bukan Berarti Melawan Syariat!

13 November 2024 | Artikel Seri Be A Great Muslimah

Oleh: Jenny Lilianai dan  Mutia Rahma

--------------

Menjadi wanita yang penuh batas dalam menjalani kehidupan bukan berarti melawan syariat. Banyak yang beranggapan bahwa pembatasan ini adalah bentuk ketertindasan atau penghalang dalam berprestasi. Namun, perspektif ini sering kali keliru, terutama jika kita melihat dari sudut pandang ajaran agama yang justru menempatkan batas-batas sebagai bentuk perlindungan dan penghormatan.

Peranan wanita dalam masyarakat tidak dapat dipungkiri dalam segala bidang kehidupan. Persoalan wanita dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan perbincangan yang sangat santer, bahkan sangat menarik baik melalui forum ilmiah maupun media massa dan forum lainnya. Sekalipun wanita secara kodrati adalah merupakan makhluk yang lemah tidak seperti halnya dengan laki-laki, akan tetapi dibalik kelemahan mempunyai kekuatan yang sulit dihindari tentang fungsi, peranan dan keberadaannya.

 

Wanita dalam Sekilas Perspektif Sejarah

Eksistensi kaum wanita dalam kehidupan dan problematika yang dihadapinya sepanjang masa pada prinsipnya berkisar pada tiga persoalan pokok, yaitu sifat pembawaan wanita (karakter kudrati), hak-hak dan tugas-tugas wanita, bak di lingkungan keluarga, ataupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat luas, dan pergaulan yang berbasis sopan santun dan etika, terutama hal-hal yang berkaitan dengan tradisi, dan adat kebiasaan.

Dalam beberapa periode sejarah Islam, dalam hal hak-hak dan tugas-tugas wanita di tengah-tengah kehidupan masyarakat luas termasuk dalam dunia politik dan pemerintahan, banyak wanita muslimah yang aktif dalam pentas politik praktis dan menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan, seperti Syajaratuddur dan Zubaidah isteri Khalifah Harun al-Rasyid. Tetapi peristiwa ini jarang sekali terjadi pada kurun waktu berikutnya. Bahkan jauh sebelum ini seperti dikemukakan oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya "Membumikan al-Qur'an" bahwa kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam soal- soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad Saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan isteri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a. memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Khalifah (Kepala Negara). Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah ketiga, Usman bin Affan. Peperangan itu dikenal dengan nama perang unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun

...

1. Memahami Makna “Batas”

Batas dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang menghalangi, tetapi sebuah petunjuk tentang bagaimana hidup dengan cara yang terbaik dan penuh manfaat. Batas yang ditentukan syariat adalah bentuk kasih sayang dan panduan agar setiap orang, termasuk wanita, dapat menjalani hidup dengan cara yang baik, terhormat, dan terhindar dari berbagai bahaya atau fitnah.

2. Kebebasan dalam Ketaatan

Dalam Islam, wanita diberikan hak-hak yang jelas, baik dalam pendidikan, ekonomi, maupun sosial. Seorang wanita bisa berpendidikan tinggi, bekerja, dan berkarier, asalkan hal tersebut tetap sejalan dengan nilai-nilai syariat. Jadi, kebebasan seorang wanita dalam Islam bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang dihiasi dengan tanggung jawab dan etika.

3. Menjaga Martabat dan Kesucian Diri

Menjadi wanita yang taat pada syariat tidak berarti tidak dapat berkontribusi di masyarakat. Banyak wanita Muslim yang berkarier dan memberikan kontribusi luar biasa dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan, kesehatan, bisnis, hingga politik, tanpa harus melanggar batas-batas yang ditetapkan oleh agama. Dengan memegang teguh batas-batas ini, mereka justru mampu menjaga martabat dan kesucian diri, yang menjadi cerminan keindahan Islam.

4. Meneladani Wanita Hebat dalam Islam

Dalam sejarah Islam, banyak contoh wanita hebat yang memiliki pengaruh besar dan tetap teguh dalam menjaga batas-batas syariat. Misalnya, Khadijah binti Khuwailid, seorang pengusaha sukses yang mendukung perjuangan Nabi Muhammad SAW, atau Aisyah binti Abu Bakar, seorang cendekiawan yang sangat berperan dalam menyebarkan ilmu. Mereka adalah bukti nyata bahwa seorang wanita bisa berkarya dan berkontribusi besar, sambil tetap menjaga nilai-nilai Islam.

5. Batas adalah Bentuk Cinta dari Sang Pencipta

Allah SWT menempatkan aturan-aturan dalam syariat untuk menjaga kemaslahatan umat-Nya. Batas-batas yang ditentukan bukanlah untuk mengekang, melainkan sebagai bentuk kasih sayang. Dengan adanya batas, seorang wanita dapat merasa aman dan nyaman dalam menjalani hidup, tanpa harus menghadapi berbagai godaan yang bisa membahayakan dirinya.

6. Menghadapi Stigma dan Misinterpretasi

Tidak jarang wanita yang berusaha taat pada syariat mendapatkan stigma dari lingkungan sekitar, dianggap “kaku” atau “tidak modern.” Padahal, menjadi seorang wanita Muslimah yang taat bukan berarti menolak kemajuan atau anti-perubahan. Ini adalah bentuk ketaatan yang justru menguatkan wanita, memberinya prinsip hidup yang kuat, dan menjadikan dirinya pribadi yang dihormati.


Kesimpulan

Menjadi wanita yang hidup dalam batas-batas syariat bukanlah penghalang, melainkan kekuatan. Syariat Islam memberikan panduan yang menjadikan wanita lebih mulia dan terlindungi. Wanita merupakan makhluk yang mulia. Di dalam Islam sendiri, Islam tidak pernah membeda-bedakan antara wanita dan pria. Mereka memiliki derajat yang sama serta hak dan kewajiban masing-masing. Seorang pria layaknya seorang wanita juga sama memiliki hukum dan batasan-batasan dalam menjalankan sesuatu. Dalam perjalanannya, seorang wanita pada dasarnya memiliki tiga kewajiban. Diantaranya adalah kewajiban beribadah, menutup aurat, dan menjaga martabat.

 

REFERENSI

Agung Pribadi, 2014, Gara-gara Indonesia, AsmaNadia Publishing House, Depok, cetakan kedua

Abdul Hamid al-Anshori, al-Huquq al-Siyasah li al-mar`ah fi al-Islam, Beirut: Libanon,tanpa tahun.

Adabul Mar’ah Fil Islam,1972, Keputusan Muktamar Tarjih ke XVII Wiradesa, Yogjakarta

Komentar

Postingan Populer