Cerpen Inspirasi 2025: Ketika Aku Belajar Menyalakan Cahaya!

Ketika Aku Belajar Menyalakan Cahaya

...

Aku pernah sampai di titik di mana bangun pagi saja rasanya seperti hukuman.
Setiap hari terasa sama. Kosong, berat, dan hampa. Aku makan tanpa rasa, tidur tanpa tenang, tertawa tanpa benar-benar bahagia. Semua hal yang dulu membuatku bersemangat, kini hanya jadi kenangan samar.

Orang-orang bilang aku harus bersyukur, harus kuat, harus tetap berjuang. Tapi bagaimana caranya bersyukur kalau bahkan bernapas pun terasa menyesakkan? Aku tersenyum di depan semua orang, tapi begitu pintu kamar tertutup, dunia seolah runtuh.

Aku mulai menjauh dari teman-teman. Chat tidak kubalas, ajakan keluar kutolak. Aku hanya ingin diam. Kadang aku berpura-pura sibuk, padahal yang kulakukan hanya menatap langit-langit kamar sambil bertanya pada diri sendiri, “Apa gunanya semua ini?”

Sampai suatu malam, aku benar-benar merasa hancur. Aku menangis tanpa tahu alasan pastinya. Di kepalaku hanya berputar semua moment buruk yang pernah terjadi. Ramai sekali. Tapi di sela tangis itu, ada satu kesadaran kecil muncul di hatiku, kalau aku terus begini, aku akan benar-benar hilang.

Besok paginya, aku bangun dengan mata bengkak tapi dengan tekad kecil di dada, 

aku mau coba sekali lagi.
Coba bangun lebih pagi.
Coba makan meski tak berselera.
Coba keluar meski takut.

Hari-hari pertama terasa aneh. Aku masih sering terpuruk, masih menangis tanpa alasan. Tapi aku belajar untuk tidak membenci proses itu. Aku belajar bahwa sembuh tidak berarti langsung bahagia, tapi berani terus berjalan meski masih sakit.

Aku mulai menulis jurnal. Bukan tentang hal besar, hanya hal-hal kecil yang patut disyukuri seperti,
“Pagi ini matahari hangat.”
“Orang di warung menyapaku ramah.”
“Aku tidak menangis hari ini.”

Pelan-pelan, sesuatu berubah. Aku mulai bisa tersenyum tanpa berpura-pura. Aku mulai bisa tidur tanpa cemas. Aku mulai percaya bahwa hidupku belum selesai, hanya sempat redup sejenak.

Sekarang, hidupku pelan-pelan punya ritme lagi. Masih sederhana, tapi cukup untuk membuatku merasa… hidup.

Pagi-pagi aku suka duduk di depan jendela, menatap matahari yang pelan naik di balik pepohonan. Dulu, aku tak pernah sadar betapa indahnya cahaya pagi, betapa menenangkannya suara burung dan aroma kopi hangat. Sekarang, hal-hal kecil seperti itu terasa seperti hadiah.

Aku mulai bekerja lagi, meski awalnya takut. Takut gagal, takut dinilai, takut kecewa lagi. Tapi kali ini aku belajar sesuatu, aku tak perlu jadi sempurna, aku hanya perlu berani mencoba.

Setiap kali aku merasa ingin menyerah, aku mengingat versi diriku yang dulu, yang berjuang keras keluar dari kegelapan. Aku tak ingin membuat perjuangan itu sia-sia.

Hari-hari masih tak selalu mudah. Ada hari ketika aku merasa kehilangan arah, ada hari ketika sedih datang tanpa permisi. Tapi bedanya sekarang, aku tidak lagi melarikan diri. Aku duduk, mengakui rasanya, lalu perlahan bangkit lagi.

Suatu sore, aku berjalan melewati taman. Ada anak kecil tertawa sambil berlari, jatuh, lalu bangun lagi. Aku terdiam lama menatapnya. Saat itu aku sadar, hidupku pun sama. Aku mungkin sering jatuh, tapi aku selalu punya pilihan untuk berdiri lagi.

Aku mulai berani bermimpi, meski kecil seperti ingin belajar hal baru, ingin menulis cerita, ingin berbagi pengalaman agar orang lain tahu bahwa gelap itu bukan akhir.

Aku tak tahu ke mana langkahku akan membawaku nanti. Tapi aku tahu satu hal pasti, aku sudah menemukan terangku sendiri. Bukan dari orang lain, bukan dari dunia luar, tapi dari diriku yang akhirnya berani pulih.

Kini, setiap kali malam datang, aku tidak takut lagi. Karena aku tahu…
bahkan di dalam gelap sekalipun, aku tetap bisa bersinar....

...


29 Oktober 2025
Insa


Komentar

Postingan Populer